Kaidah Ke-47 : Apabila Terkumpul Faktor yang Menyebabkan Hukumnya Boleh
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Tujuh
إِذَا اجْتَمَعَ مُبِيْحٌ وَحَاظِرٌ غُلِّبَ جَانِبُ الْحَاظِرُ
Apabila terkumpul (pada sesuatu) faktor yang menyebabkan hukumnya boleh dan sebab yang menjadikannya terlarang maka didahulukan sisi larangan
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan, apabila terkumpul dalam suatu perkara dua sebab (faktor) yang berbeda. Faktor pertama menyebabkan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan perkara tersebut, sedangkan faktor kedua mengakibatkan terlarangnya menggunakan memanfaatkan perkara tersebut. Dalam kondisi tersebut yang wajib bagi kita adalah tawaqquf (tidak mengambil sikap tertentu) sampai urusan tersebut menjadi jelas.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan dalam Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawa’idihi bait ke-31:
إِنْ يَـجْـتَـمِعْ مَـعَ مُـِبـيْحٍ مَـا مَـنَـعْ
فَـقَـدِّمَـنْ تَـغْــلِيْـبًا الَّــذِي مَـنَـعْ
Jika berkumpul hal yang membolehkan bersama larangan
Maka dahulukanlah sisi larangan daripada pembolehannya [1]
Kaidah ini juga merupakan realisasi sikap wara’ (hati-hati). Yaitu bersikap hati-hati dengan meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan agama ataupun kehormatannya. Termasuk juga, meninggalkan suatu yang masih belum jelas karena khawatir sesuatu itu termasuk perkara yang haram.
DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah ini telah ditunjukkan oleh beberapa dalil baik dari al-Qur’ân dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena mereka nanti akan memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. [al An’âm/6:108]
Dalam sesembahan orang-orang musyrik terkumpul dua faktor. Faktor pertama berkonsekuensi bolehnya mencela, karena mereka dijadikan sesembahan, sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla . Celaan itu merupakan bentuk penghinaan kepada mereka dan orang-orang yang menyembahnya. Namun di sana juga ada faktor yang berkonsekuensi terlarangnya mencela mereka, yaitu keberadaan orang-orang musyrik yang akan mencela Allâh Azza wa Jalla jika sesembahan mereka dicela. Dalam hal ini sisi larangan lebih didahulukan daripada sisi pembolehan. Yaitu jika kita mengetahui bahwa celaan kepada sesembahan-sesembahan tersebut akan menimbulkan celaan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka kita tidak boleh mencela sesembahan mereka.[2]
Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits yang Muttafaq ‘alaih :
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهما قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Saya telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram pun telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang meragukan, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah menjaga keselamatan agamanya dan kehormatannya.”[3]
Jadi, perkara-perkara yang terkumpul padanya sebab yang menjadikannya haram dan sebab yang menjadikannya halal termasuk perkara syubhat (samar) yang tidak jelas keharaman atau kehalalannya. Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menjaga diri dan menjauhi perkara yang samar tersebut. Karena itu lebih selamat bagi agama dan kehormatan seseorang. Kita tidak mungkin menjaga diri kecuali dengan lebih mengedepankan sebab yang melarang daripada sebab yang membolehkan.[4]
Demikian pula disebutkan dalam hadits ‘Adi bin Hatim bahwa suatu ketika ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hewan buruan hasil tangkapan anjing, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ، وَذَكَرْتَ اسْمَ اللهِ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَإِنْ قَتَلْنَ، إِلاَّ أَنْ يَأْكُلَ الْكَلْبُ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ، وَإِنْ خَالَطَهَا كِلاَبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُلْ
Apabila engkau melepas anjingmu yang telah terlatih, dan engkau telah menyebut nama Allâh ketika melepasnya, maka makanlah hewan buruan yang ditangkapnya untukmu. Kecuali jika anjing itu memakan hewan buruan itu, karena aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. Jika ada anjing lain yang menyertai anjingmu maka janganlah engkau makan hasil buruannya.[5]
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa hewan hasil buruan anjing yang terlatih hukumnya halal kecuali dalam dua keadaan :
- Apabila anjing tersebut memakan hewan buruannya, karena terkumpul pada hewan tersebut dua sebab atau faktor; Satu sebab berkonsekuensi halal, sementara sebab yang lainnya berkonsekuensi haram. Sebab atau faktor yang berkonsekuensi halal adalah hewan itu diburu oleh anjing yang sudah terlatih dan si pemilik anjing telah melepasnya dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla . Adapun faktor yang menyebabkan haram adalah anjing itu memakannya. Ini merupakan indikasi kuat bahwa anjing itu memburu untuk dirinya sendiri bukan untuk pemiliknya. Maka dalam kasus ini dimenangkan sisi keharaman daripada sisi kehalalan.
- Apabila ada anjing lain yang ikut memburu hewan buruan tersebut, karena penyebab kematian hewan buruan itu ada dua kemungkinan. Salah satunya berkonsekuensi halal, yaitu diburu oleh anjing yang sudah terlatih dan si pemilik anjing telah melepasnya dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla . Dan sebab kedua berkonsekuensi haram, yaitu keberadaan anjing lain yang ikut memburunya, di mana si pemilik tidak menyebut nama Allâh ketika terlepasnya anjing tersebut. Demikian pula tidak diketahui secara jelas kematian hewan buruan itu disebabkan oleh anjing yang mana. Maka dalam kasus ini juga hewan buruan tersebut dihukumi sebagai hewan yang haram dimakan.[6]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah yang mulia ini mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak. Di antaranya adalah sebagai berikut :
- Apabila seekor hewan disembelih oleh dua orang. Salah satunya, orang yang sembelihannya halal, sedangkan yang lain sembelihannya haram.[7] Salah satu dari keduanya memotong tenggorokan hewan, dan orang yang lain memotong pembuluh darahnya. Maka pada hewan itu terkumpul dua sebab, salah satunya berkonsekuensi halal, sebab lainnya berkonsekuensi haram. Dalam hal ini hewan itu dihukumi haram karena sisi keharaman lebih didahulukan daripada sisi kehalalan.[8]
- Hewan yang lahir dari hasil persilangan antara hewan yang haram dimakan dan hewan yang halal dimakan[9] dihukumi sebagai hewan yang haram dimakan. Hal ini karena sisi keharaman harus lebih dikedepankan daripada sisi kehalalan.
- Apabila seseorang memanah atau menembak hewan buruan lalu hewan itu jatuh ke air dan mati di sana. Maka dalam hal ini, penyebab kematiannya ada dua kemungkinan. Salah satunya berkonsekuensi halal, yaitu mati karena dipanah atau ditembak dengan terlebih dahulu disebutkan nama Allâh Azza wa Jalla . Dan sebab yang lain berkonsekuensi haram, yaitu mati karena tenggelam. Dalam kasus ini, sisi keharaman harus lebih didahulukan daripada sisi kehalalan. Oleh karena itu, hewan itu dihukumi haram. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adi bin Hatim : وَإِنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ فَلاَ تَأْكُل Dan apabila hewan buruan itu jatuh ke air maka janganlah engkau memakannya[10]
- Apabila seorang laki-laki melihat dua orang wanita, salah satunya adalah isterinya dan yang lainnya wanita bukan mahramnya, sementara dia tidak bisa membedakan mana si isteri dan mana yang bukan. Dalam hal ini wajib baginya untuk tidak menyentuh salah satunya sampai jelas mana isterinya dan mana yang bukan.[11]
- Apabila ada dua potong daging, salah satunya daging halal, dan satunya lagi daging bangkai, sementara dia tidak tahu, mana yang halal dan mana yang bangkai. Dalam kondisi ini, maka wajib meninggalkan semuanya karena sisi keharaman lebih dikedepankan daripada sisi kehalalan[12].
Wallohu a’lam.[13]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 134.
[2]. Lihat penjelasan tentang ayat di atas dalam Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 130.
[3]. HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599 dari Nu’man bin Basyir.
[4]. Lihat pula penjelasan hadits di atas dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cet. III, Tahun 1425 H/2004 M, Dar ats-Tsurayya li an-Nasyr, Riyadh, Hlm. 124-134.
[5]. HR. al-Bukhari no. 5483 dan Muslim no. 1929 dari ‘Adi bin Hatim.
[6]. Lihat pula penjelasan hadits di atas dalam Taudhih al-Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Cet. V, Tahun 1423 H/2003 M, Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah, VII/39-44.
[7]. Di antara syarat sahnya sembelihan adalah bahwa yang menyembelih adalah orang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Adapun orang kafir selain ahli kitab maka sembelihannya haram. Berdasarkan mafhum firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Al Maaidah : 5. (Lihat Talkhis Ahkam al-Udhhiyyah wa adz-Dzakah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tahun 1430 H, Muassasah as-Syaikh Muhammmad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, al-Qasim, hlm. 38-39).
[8]. Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (al-Manzhumah wa Syarhuha), Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Wizarah al-Auqaf wa as-Syu-un al-Islamiyah, al-Jahraa’, Hlm. 128.
[9]. Contohnya adalah bighal, yaitu hewan hasil persilangan antara kuda dan keledai. (Lihat Minhaj al-Muslim, Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Dar Ibn al-Haitsam, Kairo, Hlm. 408.
[10]. HR. al-Bukhari no. 5484 dari ‘Adi bin Hatim.
[11]. Lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (al-Manzhumah wa Syarhuha), Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Wizarah al-Auqaf wa as-Syu-un al-Islamiyah, al-Jahraa’, Hlm. 128.
[12]. Lihat Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 135.
[13]. Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-53, dengan beberapa penyesuaian.